Pendidikan Karakter Tidak Jelas Namun Tetap Dipertahankan
19.11.15
Add Comment
Sering ditemukannya perilaku menyimpang pada siswa seperti tawuran, tindak asusila, penyalahgunaan Napza, dan lain sebagainya membuat dunia pendidikan terutama Kemendikbud menerapkan pendidikan karakter. Lucunya lagi bila kita amati pada RPP/ RPL guru mewajibkan menambahkan poin pendidikan karakter. Apakah karakter siswa dapat dibentuk secepat itu? mari kita simak ulasannya berikut ini.
Grand desain pendidikan karakter bagi peserta didik di sekolah dinilai tidak jelas. Ada kecenderungan ketidakjelasan menerapkan pendidikan karakter di sekolah ini menyalahkan para guru. Koordinator Forum Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ) Retno Listyarti, Rabu (18/9/2016), mengungkapkan pemerintah hanya melontarkan ide tentang pengembangan dan penerapan pendidikan karakter. Namun demikian, pemerintah tidak memiliki cetak biru pendidikan karakter seperti apa yang mau dibangun oleh negara ini.
"Pembangunan karakter dalam pendidikan seharusnya menentukan karakter apa saja yang ingini dibangun dan dikembangkan di sekolah, tetapi itu harus sejalan dengan karakter yang didesain oleh negara," ujar Retno.
Misalnya saja, kata Retno, karakter yang mau dibangun adalah budaya jujur (antikorupsi) dengan alasan budaya korupsi di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Atau, karakter antikekerasan dan multikultural dengan alasan maraknya radikalisme dan terorisme di Indonesia.
Retno juga memberi contoh soal Matematika untuk siswa sekolah dasar di Thailand yang dihubungkan dengan karakter membangun kepedulian kepada sesama. Retno mengisahkan, seorang anak pergi berbelanja ke pasar tradisional dengan sang Ibu. Mereka membeli pisang satu sisir yang isinya 10 buah pisang.
Di pasar mereka bertemu dengan pengemis. Si anak meminta ijin sang Ibu untuk memberi pisang kepada si pengemis tersebut. Si Ibu lalu meminta putrinya untuk menanyakan jumlah anggota keluarga si pengemis, yang dijawab si pengemis ada 3 orang, adapun jumlah keluar si puteri ada 4 orang, berapakan sisa pisang yang tadi dibeli?
Jimmy S Paat, pemerhati pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) mengatakan, pendidikan karakter seharusnya melekat dalam proses pendidikan. Namun, keadaan yang sekarang mengkondisikan pendidikan karakter justru berdiri sendiri, bukan masuk dalam bagian pada proses pembelajaran.
"Sikap reaktif pemerintah ini justru terkesan menyalahkan guru atas berbagai persoalan di negeri ini, seperti budaya korupsi dan radikalisme akibat pendidikan moral pada PKn dan Agama dianggap gagal. Guru kembali dipersalahkan dalam kasus ini. Padahal, soal moral bukan tanggung jawab guru dan sekolah semata, karena pendidikan semestinya dimulai dari rumah," ujar Jimmy.
Ishak Ibrahim, guru SMP 212 Jakarta mengatakan, para 2015 lalu Kemdiknas sudah menetapkan pendidikan karakter. Hanya saja, tidak jelas arah karakter yang dimaksud pemerintah. "Sekarang sudah mulai disosialisasikan supaya rancangan pelaksanaan pembelajaran (RPP) guru di semua bidang studi pada tahun ajaran 2015/2016 ini harus dibuatkan atau dimasukan pendidikan karakter dalam RPP guru. Seperti apa sebenarnya pendidikan karakter, saya sendiri tidak jelas," ujar Ishak.
Grand desain pendidikan karakter bagi peserta didik di sekolah dinilai tidak jelas. Ada kecenderungan ketidakjelasan menerapkan pendidikan karakter di sekolah ini menyalahkan para guru. Koordinator Forum Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ) Retno Listyarti, Rabu (18/9/2016), mengungkapkan pemerintah hanya melontarkan ide tentang pengembangan dan penerapan pendidikan karakter. Namun demikian, pemerintah tidak memiliki cetak biru pendidikan karakter seperti apa yang mau dibangun oleh negara ini.
"Pembangunan karakter dalam pendidikan seharusnya menentukan karakter apa saja yang ingini dibangun dan dikembangkan di sekolah, tetapi itu harus sejalan dengan karakter yang didesain oleh negara," ujar Retno.
Misalnya saja, kata Retno, karakter yang mau dibangun adalah budaya jujur (antikorupsi) dengan alasan budaya korupsi di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Atau, karakter antikekerasan dan multikultural dengan alasan maraknya radikalisme dan terorisme di Indonesia.
Retno juga memberi contoh soal Matematika untuk siswa sekolah dasar di Thailand yang dihubungkan dengan karakter membangun kepedulian kepada sesama. Retno mengisahkan, seorang anak pergi berbelanja ke pasar tradisional dengan sang Ibu. Mereka membeli pisang satu sisir yang isinya 10 buah pisang.
Di pasar mereka bertemu dengan pengemis. Si anak meminta ijin sang Ibu untuk memberi pisang kepada si pengemis tersebut. Si Ibu lalu meminta putrinya untuk menanyakan jumlah anggota keluarga si pengemis, yang dijawab si pengemis ada 3 orang, adapun jumlah keluar si puteri ada 4 orang, berapakan sisa pisang yang tadi dibeli?
Jimmy S Paat, pemerhati pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) mengatakan, pendidikan karakter seharusnya melekat dalam proses pendidikan. Namun, keadaan yang sekarang mengkondisikan pendidikan karakter justru berdiri sendiri, bukan masuk dalam bagian pada proses pembelajaran.
"Sikap reaktif pemerintah ini justru terkesan menyalahkan guru atas berbagai persoalan di negeri ini, seperti budaya korupsi dan radikalisme akibat pendidikan moral pada PKn dan Agama dianggap gagal. Guru kembali dipersalahkan dalam kasus ini. Padahal, soal moral bukan tanggung jawab guru dan sekolah semata, karena pendidikan semestinya dimulai dari rumah," ujar Jimmy.
Ishak Ibrahim, guru SMP 212 Jakarta mengatakan, para 2015 lalu Kemdiknas sudah menetapkan pendidikan karakter. Hanya saja, tidak jelas arah karakter yang dimaksud pemerintah. "Sekarang sudah mulai disosialisasikan supaya rancangan pelaksanaan pembelajaran (RPP) guru di semua bidang studi pada tahun ajaran 2015/2016 ini harus dibuatkan atau dimasukan pendidikan karakter dalam RPP guru. Seperti apa sebenarnya pendidikan karakter, saya sendiri tidak jelas," ujar Ishak.
0 Response to "Pendidikan Karakter Tidak Jelas Namun Tetap Dipertahankan"
Post a Comment